This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 05 Juni 2013

Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

            assalamualaikum wr.wb saya kali ini akan sharing tentang penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebagai berikut :


1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

sekian dari saya semoga bermanfaat buat kita semua salam blogger..


 

Rendahnya Kualitas Pendidikan Di INDONESIA

Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

 
MUTU PENDIDIKAN RENDAH
 
 
  PENDAHULUAN
            assalamualaikum wr.wb saya kali ini akan memosting artikel tentang rendahnya kualitas pendidikan di indonesia berikut artikelnya:
 
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.

solusinya adalah pemerintah harus menangani permasalahan sperti yang di atas apabila ingin mutu dan kualitas pendidikan di indonesia lebih baik serta penuhi juga sarana prasarana sekolah di desa-desa bukan hanya di kota saja.
 

Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (PKLH)

Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (PKLH)

          assalamualaikum wr.wb jumpa lagi bersama ekoferdy07 saya kali ini akan berbagi informasi tentang   Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (PKLH) tidak usah panjang lebar berikut informasinya:

PENDAHULUAN
Manusia, sejak permulaan keberadaannya di bumi, sudah hidup dari dan dengan lingkungannya. Semasih segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya, dan semasih bumi mampu memproses secara alamiah buangan/sisa yang diperlukan manusia, tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan pada lingkungan. Namun, sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan perkembangan teknologi manusia, tampak masalah lingkungan menjadi semakin memprihatinkan. Masalah lingkungan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sangat erat hubungannya dengan masalah kependudukan dalam konteks penduduk dan pembangunan (Ananta, 1992; Mantra,2001; Moertopo, 1992). Dalam hal ini, kerusakan lingkungan tidak hanya sebagai akibat dari bertambahnya penduduk serta meningkatnya kebutuhan hidup. Terdapat proses lain yang menyertai yang menyebabkan menipisnya sumber daya alam menjadi jauh lebih parah.
Semakin meluasnya masalah lingkungan menyebabkan isu, perhatian, dan aktivitas lingkungan mulai diperkenalkan secara meluas sejak dasa warsa 1960-an. Puncaknya adalah pada dasa warsa 1970-an, yaitu dengan digelarnya The United Nation Conference on Human Environment di Stockholm oleh PBB pada tanggal 5 s/d 16 Juni 1972 (Sumaatmadja, 2001). Implementasi dari resolusi Stockholm adalah dibentuknya badan khusus yang membidangi permasalahan lingkungan oleh PBB yang dikenal dengan United Nations Environmental Programs (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya (Soemarwoto, 1982).
 PEMBAHASAN
 
A. Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidupdan Implementasinya 
Terkait dengan PKLH, sebelum tahun 1984, dikenal dua program, yaitu Pendidikan Kependudukan (Population Education) dan Pendidikan Lingkungan Hidup (Environmental Education). Pendidikan Kependudukan dicanangkan oleh Depdikbud mulai tahun 1970, dengan latar belakang kekhawatiran dunia akan adanya pertumbuhan penduduk yang tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan bahan-bahan kebutuhan hidup. Sebagai suatu proses pendidikan, Pendidikan Kependudukan ditekankan pada informasi masalah kependudukan dengan tujuan mengubah sikap mental masyarakat ke arah hal-hal yang positif dalam menanggulangi masalah kependudukan (Sumaatmadja, 2001). Dalam hal ini, sasaran utama Pendidikan Kependudukan adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap masalah reproduksi dan persebaran penduduk secara rasional dan bertanggung jawab.
Pendidikan Lingkungan Hidup merupakan program yang dicanangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai tahun 1981. International Union for Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) memberikan batasan Pendidikan Lingkungan Hidup (dalam Sumaatmadja, 2001) sebagai berikut. “Environmental education is a process of recogniting values and clarifying concepts in order to develop the skills and attitudes that are necessary to understand and appreciate the interrelations among man, his culture and his biophysical surrounding. Environment education is also entails practise in dicision-making, and the self-formulation of code of behaviour about the issues concerning environmental quality”
Dalam batasan itu tersirat bahwa sasaran utama dari Pendidikan Lingkungan Hidup diletakkan pada upaya mengembangkan sikap dan perilaku yang bermakna (rasional dan bertanggung jawab) terhadap masalah pengelolaan sumber daya alam. Tujuan utama dari dua program tersebut memang tampak berbeda, namun, secara implisit pada dasarnya kedua program tersebut adalah sama, yaitu ditujukan untuk menunjang terbinanya kualitas hidup penduduk secara lebih baik. Kedua program tersebut juga memiliki objek kajian yang sama, yaitu dinamika penduduk dan integrasi perilakunya (manusia) terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan fisiknya. Persamaan lainnya juga tampak dari pendekatan pelaksanaannya, yaitu sama-sama menggunakan pendekatan multidisiplin dengan mengintegrasikan fakta, konsep, prinsip dan teori kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam berbagai studi yang relevan. 
Karena adanya persamaan itulah kemudian Depdikbud, LIPI dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memprakarsai seminar-lokakarya (semiloka) yang pelaksanaannya dilakukan pada bulan Juli dan Oktober 1983 serta bulan Januari 1984. Hasil tiga kali semiloka tersebut adalah disepakati penyatuan kedua program menjadi satu program, yaitu Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang kemudian lebih dikenal dengan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup.
Menurut hasil semiloka tersebut, Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup adalah suatu program kependidikan untuk membina anak didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Sasaran akhir dari Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup adalah terbentuknya Warga Negara Indonesia yang berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup, yaitu yang dalam tingkah laku sosial, ekonomi, politik dan budayanya berpandangan progresif terhadap masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup menuju kehidupan keluarga dan masyarakat yang serasi seimbang dalam hubungannya dengan Tuhan, lingkungan sosial dan lingkungan hidupnya (Kastama,1996). Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup sebagai program pendidikan, pada dasarnya bertujuan membentuk sikap dan perilaku manusia agar bereproduksi secara rasional, memelihara lingkungan hidup, dan bertanggung jawab terhadap kualitas kehidupan sekarang dan masa mendatang melalui proses pendidikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup diajarkan di semua jenjang pendidikan baik formal maupun nonformal, mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam mengimplementasikan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup di perguruan tinggi cukup bervariasi. Ada yang menggunakan pendekatan monolitik, baik sebagai mata kuliah wajib maupun sebagai mata kuliah kekhususan di program studi. Ada juga yang menggunakan pendekatan integratif, di samping juga ada yang tidak mencanangkannya sebagai mata kuliah. 
Di LPTK, dengan pemberlakukaan SK Mendikbud RI Nomor 0193/U/1976, Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri (monolitik) dan termasuk dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Perrtimbangan yang melandasinya adalah, sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga kependidikan (calon guru), seorang lulusan LPTK harus memiliki kemampuan untuk mengajarkan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup secara terintegrasi di sekolah pada mata pelajaran yang dijarkan. 
Namun, dengan pemberlakukaan SK Mendikbud RI Nomor 0212/DJ/Kep/ 1983 tentang Kurikulum Inti Program Sarjana dan Program Diploma Bidang Kependidikan, yang tidak menjadikan PKLH mata kuliah wajib yang berdiri sendiri di LPTK, berbagai variasi muncul dalam mengimplementasikan materi PKLH di LPTK. Ada yang menjadikan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup sebagai mata kuliah yang diajarkan secara monolitik dengan memasukkannya ke dalam kelompok MKDU. Ada yang memasukkan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup kedalam Mata Kuliah Kekhususan Program Studi, seperti terlihat di IKIP Negeri Singaraja (namun, hanya di Jurusan Pendidikan Biologi, Pendidikan Geografi, dan PPKn). Di samping itu, ada juga LPTK yang tidak mengajarkannya secara monolitik, tetapi menyajikannya secara integratif, dengan mengintegrasikan PPendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup ke dalam mata kuliah Ilmu Sosial Dasar (dalam kelompok MKDU).
Terlepas dari variasi pengimpelementasian Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup tersebut, keberadaan PKLH secara monolitik di perguruan tinggi perlu dipertahankan, khususnya di LPTK (Kastama,1996). Sebagai calon guru, mahasiswa LPTK dituntut mempunyai persepsi yang mantap tentang kemungkinan adanya dampak negatif dari pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali atau tentang adanya interaksi negatif dengan lingkungan hidupnya, di samping karena kependudukan dan lingkungan hidup menjadi hal yang mendasar sebagai penjabaran ketentuan GBHN, terutama dalam membentuk sikap dan perilaku generasi muda berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup. 
Berarti, secara pedagogis, implementasi Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup dalam pembelajaran menuntut guru tidak hanya sekadar mampu menyajikan kepada murid contoh-contoh kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perilaku manusia, yang bahan-bahannya dapat diambil dari guntingan-guntingan koran atau yang sejenisnya. Dalam hal ini, seorang guru dituntut mampu menyadari keberadaan siswanya terkait dengan lingkungan tempat mereka berada dan mampu menstimulasi sasaran didik untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang mengandung etika lingkungan (Sumaatmadja, 2001). Sikap dan perilaku tersebut ditumbuhkan dengan mengajak anak didik menyadari makna lingkungan baginya dan memahami keterkaitannya dengan penduduk. Di samping itu, sikap dan perilaku yang berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup juga perlu dimiliki dan ditunjukkan oleh seorang guru untuk dapat diteladani oleh siswanya. Berarti, untuk dapat melakukan pengintegrasian Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup ke dalam mata pelajarannya, pemahaman seorang guru tentang Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup menjadi mutlak, di samping kemampuan merespon dan keteladanannya sebagai pencinta dan pelestari lingkungan.  
B. Permasalahan Pembelajaran Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup di Sekolah
Telah dikemukakan di atas bahwa PKLH di sekolah diimplementasikan menggunakan pendekatan integratif. Hasil monitoring dan supervisi Depdikbud terhadap Pendidikan Kependudukan yang diimplementasikan secara integratif di sekolah memperlihatkan adanya beberapa hambatan (Kastama, 1996). Salah satunya adalah sulitnya guru mengintegrasikan materi Pendidikan Kependudukan ke dalam bidang studi atau mata pelajarannya, walaupun GBPP sudah disiapkan. Hal yang sama juga dijumpai oleh Rideng (1997) dalam penelitiannya tentang Pelaksanaan PKLH di SMU di kabupaten Buleleng.
Terkait dengan PKLH, pada kurun waktu 1996-1999, penulis ditugaskan sebagai instruktur/nara sumber dalam Pelatihan PKLH yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikans Profinsi Bali. Peserta pelatihannya adalah guru-guru TK, SD, SLTP dan SMU/K pengajar mata pelajaran di mana PKLH diintegrasikan. Kesempatan itu juga digunakan melakukan wawancara dengan peserta pelatihan. Hasil wawancara mengidentifikasi permasalahan dalam implementasi PKLH di sekolah, seperti diuraikan berikut ini.
C. Masalah Guru sebagai Tenaga Pengajar Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Implementasi PKLH secara integratif di sekolah terlihat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan PKLH karena jumlah guru yang dipandang turut mengambil bagian tanggung jawab dalam melaksanakan program PKLH menjadi cukup banyak. Namun, tanggung jawab yang diemban oleh guru bersangkutan menjadi berkurang. Sementara, guru dituntut perhatian dan kemampuannya secara konprehensif menyeluruh, di samping kemampuan dasar yang dapat menjamin pelaksanaan tugasnya sesuai dengan tujuan pendidikan (Sumaatmadja, 2001). Berkurangnya tanggung jawab guru merupakan konsekuensi logis dari penerapan pendekatan integratif karena PKLH hanyalah materi titipan pada mata pelajaran yang menjadi tugas pokok guru yang bersangkutan.
Di samping itu, implementasi PKLH dengan pendekatan integratifnya terlihat tidak akan menambah beban waktu efektif suatu mata pelajaran. Namun, guru akan kesulitan mengalokasikan waktu pada PKLH karena untuk mata pelajaran pokoknya saja waktu yang disediakan sudah sedemikian ketat, sehingga sulit untuk menambahkan pokok bahasan yang dititipkan dari PKLH. Kenyataan tersebut tentu berimplikasi pada pencapaian tujuan kurikuler PKLH itu sendiri.
D. Masalah Bahan Pelajaran Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Pengintegrasian bahan pelajaran PKLH ke dalam mata pelajaran lain, dalam penyajiannya jelas akan memperoleh fokus bahasan dari guru yang dibebani tanggung jawab tersebut. Bisa terjadi seorang guru yang mengintegrasikan PKLH berkurang perhatiannya terhadap bahan pelajaran pokok yang seharusnya menjadi tanggung jawab profesinya, atau sebaliknya pokok bahasan PKLH menjadi sangat berkurang, bahkan mungkin terlupakan. Hal itu akan berdampak pada pencapaian tujuan kurikuler PKLH itu sendiri dan pada pencapaian kurikuler secara menyeluruh.
Di samping itu, pengintegrasian tersebut juga dapat menimbulkan terpisah-pisahnya pokok bahasan PKLH. Hal ini akan mengganggu kesatuan program PKLH, sementara keutuhan program sebagai satu kesatuan menjadi tututan dasar dalam pencapaian kurikulum (Nasution,1982). Dampaknya adalah pada sasaran didik dalam menerima PKLH sebagai program. Pemahaman siswa pada PKLH akan menjadi terkotak-kotak, tidak secara utuh dalam suatu kebulatan program yang menyeluruh. Kenyataan tersebut tentu akan menggangu pula keberhasilan tujuan kurikuler PKLH.
E. Metode dan Teknik PenyajianPendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Setiap pokok bahasan membutuhkan metode dan teknik penyajian tertentu yang dirasakan efektif (Salam,1997). Dengan pengimplementasian PKLH secara integratif, persoalannya terletak pada bagaimana para pengajar terampil menggunakan dan mentransfer metode yang digunakannya untuk mata pelajaran pokoknya sebagai metode untuk menyajikan pokok bahasan PKLH. Pada saat pokok bahasan PKLH memperlihatkan corak atau ciri yang khas untuk menerapkan metode tertentu, maka tidak mustahil akan timbul kesulitan dalam menghadapi metode tersebut untuk dintegrasikan dengan pokok bahasan pada mata pelajaran pokoknya. Permasalahan yang timbul pada penerapan metode dan teknik penyajian PKLH, maka akan berimplikasi pada tujuan kurikuler secara keseluruhan, baik mata pelajaran yang dititipkan maupun tujuan kurikuler PKLH itu sendiri. Dalam hal ini, guru akan lebih mengutamakan pencapaian tujuan kurikuler dari mata pelajaran yang menjadi tugas pokoknya.
F. Evaluasi Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Tercapainya tujuan pendidikan baru dapat diketahui bila telah dilakukan evaluasi terhadap tindakan dan kegiatan pendidikan tersebut (Salam, 1997). Dengan pendekatan integratif yang digunakan dalam mengimplementasikan PKLH sudah dapat dibayangkan bagaimana sulitnya melaksanakan evaluasi sekaligus dalam bentuk mata pelajaran yang sudah diintegrasikan. Hal tersebut akan berdampak juga pada pencapaian tujuan kurikuler.
 

solusinya adalah kepada menteri pendidikan harus mensosialisasikan pendidikan di indonesia ini dengan mutu yg baik,, pertama harus pada guru-guru di indonesia ini apakah kualitasnya sudah memenuhi standar menjadi seorang guru atau belum,,
 
 
 

Masalah Kependudukan di Indonesia

Masalah Kependudukan di Indonesia

          assalamuaalaikum wr.wb saya kali ini akan memosting tentang masalah kependudukan di indonesia negara yang kita cintai ini semoga bisa bermanfaat buat kita semua dan berikut tentang masalah kependudukan di indonesia:

Latar Belakang
Dari hasil sensus penduduk tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah179,4 juta. Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara Negara-negarayang sedang berkembang setelah Gina dan India.Dibanding dengan jumlahsensus tahun 1980 maka akan terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata1,98% pertahun. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Indonesiapada tahun 1995 sebanyak 195,3 juta jiwa.
Bila dilihat dari luas wilayah pada peta penyebaran penduduknya terlihattidak merata di 27 propinsi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1990 sekitar60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luaswilayah Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hanyaditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya.Kondisi tersebut menunjukan bahwa kepadatan penduduk Indonesia tidakseimbang.
Kondisi tersebut memerlukan upaya pemerataan dan upaya tersebut telahdilaksanakan melalui program transmigrasi dan gerakan kembali ke Desa.Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya Indonesia masih tergolongtinggi, hal ini bila tidak diupayakan pengendalianya akan menimbulkan banyakmasalah.
Di Indonesia dari tingkat partisipasi anak usia sekolah baru mencapai 53%meskipun wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan olehpemerintah. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita tergolongrendah. Hongkong misalnya tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan 88%dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 1995).
Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masihberpendidikan rendah. Dampaknya terhadap pendapatan perkapita yang padagilirannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Juga terhadap kehidupanrumah tangga seperti perceraian dan perkawinan yang akan berpengaruh terhadapangka kelahiran dan kematian yang dalam banyak hal dijadikan indikator bagikesejahteraan suatu negara.
Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa manusia adalah sebagaisubjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak diantisipasimungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatunegara.
 
Solusinya: yaitu di adakannya beasiswa untuk siswa/siswi yang berprestasi untuk bisa melanjutkan keperguruan tinggi yang di fasilitasi oleh negara.